Sepuluh Menit Sebelumnya

Sungguh sebuah tanggapan menjengkelkan yang diberikan oleh orang di hadapanku ini. Aku benar-benar sebal dan kehabisan kata-kata. Tidak habis pikir lagi, ada apa dengan manusia ini. Segala hal yang tadinya ingin aku sampaikan rasanya hilang. Rasanya aku sudah tidak ingin bicara. Rasanya ingin escape dari situasi ini. Dan kami kemudian mengisi momen speechless itu hanya dengan tertawa, sambil sedikit berceloteh saling adu argumen—seperti biasanya.
Sepuluh menit sebelumnya.
“I knew it,” ucapnya.
Aku baru-baru ini mendapatkan sebuah ilmu. Kuota keprihatinan namanya. Hal ini cukup serupa dengan sesuatu yang sering dibahas manusia di hadapanku. Hingga akhirnya mendorongku untuk menyampaikannya.
Singkatnya, semua manusia memiliki kuota keprihatinan, semacam jatah untuk merasakan kesulitan/menjadi prihatin. Namun, percayalah sebagai makhluk yang menghamba ketika kita sudah menjalankan kebaikan sesuai tuntunanNya sehingga merasakan ‘keprihatinan’, maka sebenarnya kita telah mengambil jatah keprihatinan kita. Contohnya, ketika kita mau bersusah payah melaksanakan ibadah di sepertiga malam, kemudian kita merasa urusan yang kita lakukan lancar pada hari itu. Hal ini terjadi karena ketidaklancaran urusanmu telah terbayarkan dengan sulitnya kamu melawan kantuk untuk bangkit dini hari.
Bagaimana jika kita tidak mengambil jatah keprihatinan itu melalui amalan baik? Niscaya keprihatinan itu akan datang dalam jelmaan lain, sehingga kita tetap akan merasakannya. Kita diberi pilihan. Untuk mengambil jatah tersebut melalui amalan baik atau tidak mengambil jatah kemudian mendapatkan keprihatinan lewat jalan yang tidak terduga. BUT, REMEMBER. Kita tetap harus menjaga niat mulia ketika melakukan amalan baik, tentu hanya Allah yang tahu ke rezeki yang akan kita dapat maka lebih baik tahan dugaanmu.
Terdapat kisah sebuah keluarga dengan empat anak. Ayah, ibu, anak pertama kedua dan ketiga telah menjalani kesuksesan masing-masing. Namun, anak keempat membawa kesengsaraan bagi keluarga ini. Ia membawa masalah dengan segala tingkahnya, panggilan-panggilan dari polisi dan sebagainya. Anak ini menyusahkan dan hanya menghabiskan uang untuk melakukan tebusan kurungan. Keluarga ini seperti akan sentosa mutlak tanpa anak bangor ini.
“Dongeng! Fix itu dongeng,” ujarnya secara spontan.
“Ih. Kenapa sih, kok dongeng?"
“Bayangin berapa banyak kemungkinan peristiwa ini terjadi? Keluarga dengan empat anak, dan satu anak pembawa masalah padahal yang lain baik-baik saja? Berapa persentase ini kisah nyata?!”
Sebal.
Lebih baik aku lanjutkan cerita anak bangor itu di sini. Keluarga itu menjadi merasakan prihatin hanya karna si anak bangor. Sebuah pertanyaan pun dilayangkan terhadap yang lebih berilmu. “Coba kamu keluarkan uang yang biasanya untuk menebus kurungan penjara itu menjadi sedekah. Anakmu tidak akan berulah dan masuk penjara.” Sang berilmu menjawabnya dengan yakin. Yep. Sedekah itu sebuah wujud jatah keprihatinan yang diambil di awal, sehingga kemudian keluarga tersebut tidak harus membayarkan tebusan kurungan.
Suatu amalan baik itu ketika dilakukan awalnya pasti akan terasa berat. Tapi saat sudah terbiasa tidaklah menjadi berat kembali. Bayangkan seberapa banyak anugerah berupa ketenangan hidup yang dirasakan dengan terbiasa mengambil jatah keprihatinan di awal 😉 wallahu’alam.
“Kecil banget kan persentasenya itu cerita asli?!”
“Ya ampun, sumpah. Untung ga ada orang kayak lo di ruangan itu yang bakal langsung teriak 'bohong' pas diceritain ini.”
“Yaa cerita kayak gitu dikarang emang untuk disampaikan buat orang-orang yang susah paham dapet intisari ilmunya. Kalo gua sih cuma butuh intisarinya.”
Tidak untuk dipungkiri, mungkin pernyataan terakhir manusia di hadapanku ini memang ada benarnya. Sebenarnya tapi bukan dongeng sih, lebih tepatnya itu contoh. Seperti guru SD yang mencontohkan hitungan tambah kurang dengan buah apel. Dan tidak seharusnya dipotong di tengah cerita, dasar bodoh. 😒

Comments

Popular posts from this blog

Runnin' Home to You by Grant Gustin

Tukang Besi dan Parfum

Cheshire Night