Beratus Kilometer
“Happy Birthday to
youuu. Happy birthday!” nyanyi sekelompok
orang dengan improvisasi lirik hebat sambil memegang sebuah kue tart ulang
tahun.
Manis, batinku.
Manusia di sebelahku menengok dan bertanya tentang siapa yang ulang
tahun. Sambil tersenyum simpul sekaligus bangga, aku menjawab “Angkatanku.”
Ia hanya merespon seadanya,
sedang aku masih merasa kegirangan. Mungkin baginya bukan hal besar ulang tahun
angkatan itu. Tapi tidak bagiku—tidak bagi seseorang yang berusaha menahan
sejuta kerinduan karena telah hidup terpisah jarak beratus kilometer—jelas aku menyayangi
mereka dengan semua kenangan yang terjalin selama +- 4 tahun ini.
Satu tahun lamanya waktu yang dibutuhkan agar resmi dinobatkan sebagai
angkatan. Lika-liku perjuangan. Lelahnya menunggu di basecamp untuk memulai
rapat. Malas yang timbul ketika membaca jarkom untuk berkumpul pakai baju hitam
esok harinya. Pusingnya memikirkan jawaban yang tak kunjung dinilai benar di
bawah terik matahari. Kini semua itu menjadi kenangan. Tertawa mengingat segala hal yang dulu dijalani (seperti) dengan berat hati. Namun, bukan hal yang dipungkiri,
dari sanalah rasa peduli itu timbul, keakraban ini muncul, sampai
kebersamaannya menyeruak dan memori bahagianya menjadi permanen.
Kisah ini kemudian dilanjutkan 3 tahun berikutnya. Menjalani bangku
perkuliahan. Tugas yang menumpuk, dibarengi saling berlomba melatih softskill,
serta urusan untuk menjaga kualitas penghuni gedung biru kampus. Ditengah semua
kesibukan itu, 28 Agustus selalu tetap menjadi hari penting. Peringatan dengan
acara makrab di villa, makan malam bersama dengan venue pantai, kini (mungkin) terakhir
akan diadakan makan malam bersama dengan venue hotel. Sebelum semuanya
benar-benar hilang berpencar dan tidak saling membersamai secara fisik.
Itulah kisah singkat empat tahun bersama.
Tapi aku belum menyinggung tentang bagaimana mereka bukan?
Mari kita bagi menjadi dua kelompok. Laki-laki dan perempuan. Populasi
ini didominasi lebih dari 70% oleh laki-laki. Laki-laki teknik elektro, menjadi
gelar yang terdengar keren. Laki-laki teknik saja keren, apalagi teknik
elektro. Para kaum Adam-ku ini memang luar biasa, mereka terbiasa memperlakukan
perempuan dengan layak. Menjaga, mengambil alih tugas berat, terkadang membela kaum perempuannya. Mereka ahli melakukannya karena sejak awal memang
dididik demikian. Bahkan hal kecil seperti merokok, mereka rela berpindah
tempat ketika kaum perempuannya mengeluh karena terganggu asapnya. Rasa
aman dapat tercipta ketika mereka ada di sekitaran. Menjadi sosok pemimpin yang
layak dinanti.
Sedang kaum Hawa-ku tidak kalah luar biasanya. Ya, benar kami terbiasa
diperlakukan baik. Kami mungkin seperti terbiasa dimanja. Lantas apakah kami
manja? Tidak. Kami dilatih untuk tetap menjadi mandiri dan tidak antipati untuk
bekerja keras. Bahkan kami seperti terbiasa untuk tidak memusingkan hal
remeh-temeh yang cukup populer di kalangan sepantaran. Less drama. Hanya saja,
terbiasa berada di tengah sekumpulan laki-laki membuat kami memiliki standar
takluk yang agak berbeda. Terkesan lebih cuek mungkin. Tapi, ketika si cuek
telah berhasil luluh, mereka tidak akan main-main bukan. Menjadi sosok yang
patut diperjuangkan.
Kami—baik laki-laki
maupun perempuan sama-sama terbiasa saling peduli. Terbiasa dididik untuk membantu.
Tidak melulu memikirkan keberhasilan pribadi. Itulah salah satu bentuk jelmaan
arti kata ‘solidaritas’ bagi kami.
Kini kami berada di
puncak kekuasaan kampus biru. Sebagian telah menyelesaikan tugasnya di bangku
perkuliahan, kemudian hengkang mengarungi kerasnya kehidupan luar. Sebagian
lagi masih berusaha menuntaskan segera tugasnya, demi kebahagiaan orang-orang
yang menunggunya.
Aku—beratus kilometer jauhnya dari titik lokasi pertemuan awal kita—senantiasa
mengharapkan kesuksesan bagi setiap jiwa. Semesta, tunggulah kami bertransformasi
menjadi para pria dan wanita hebat.
Salam semangat.
Salam hangat.
Salam rindu.
Comments
Post a Comment